Back to Top

Melirik Sejarah Perjalanan Rempah-Rempah Pala Dari Spice Islands

Raden Pedia
June 26, 2019
0 comments

Raden Pedia - Pada abad ke 17 rempah-rempah menjadi komoditas yang sangat bernilai harganya. Saking mahalnya harga salah satu jenis rempah-rempah yaitu pala atau nutmeg sempat setara dengan emas. Penyebabnya adalah permintaan pasar Eropa terhadap produk ini yang teramat besar, sedangkan ketersediaannya sangat terbatas. Di mana saat itu daerah penghasil pala di dunia hanya satu, yaitu di Kepulauan Banda, Indonesia.

Penduduk Daerah Eropa pada tahun 1600an memanfaatkan rempah-rempah sebagai bumbu penyedap masakan, campuran wine dan minuman keras, penyeimbang rasa pada daging (salty winter meat), serta obat segala jenis penyakit. 


Pada waktu itu salah satu jenis rempah-rempah yang paling dicari dan berharga adalah pala. Di mana hanya orang-orang tertentu kalangan atas yang dapat membelinya serta belum banyak yang mengetahui dari mana rempah-rempah yang satu ini berasal. Pala juga dimanfaatkan sebagai obat halusinasi, Pereda sakit flu dan sakit kepala, serta obat penenang.


Selain langka, penyebab tingginya nilai jual rempah-rempah karena sulitnya akses untuk membawa komoditas tersebut dari Asia Tenggara ke Eropa. Jaman dahulu jalur transportasi yang paling efisien adalah melewati laut dengan menggunakan kapal.


Untuk itu resiko yang ditanggung oleh penjelajah sangat besar, bahkan beberapa tidak dapat kembali dengan selamat ke Eropa.


Penemuan Surga Rempah-Rempah “Spice Islands” Oleh Bangsa Eropa

Karena pala menjadi sangat populer dan bernilai tinggi, para penjelajah Eropa melakukan ekspedisi untuk mencari daerah penghasil pala atau yang dikenal dengan “Spice Islands”. 

Pencarian Kepulauan Rempah-rempah itu pertama kali dilakukan oleh Portugis yang dipimpin oleh Afonso de Albuquerque yang akhirnya menemukan daerah penghasil pala, yaitu Kepulauam Banda, Maluku, pada tahun 1511. 



Namun misi penaklukkan yang dilakukan oleh bangsa Eropa pertama di Kepulauan Banda ini tidak berlangsung lama. Dalam waktu kurang dari 10 tahun para penjelajah Portugis menyerah untuk menaklukkan "Spice Islands" ini. 

Memasuki tahun 1599, Belanda mengikuti jejak Portugis dan tiba di Kepulauan Banda. Mereka mencoba menguasai satu-satunya wilayah penghasil pala di dunia ini dengan menggunakan kekuatan armada yang lebih besar. 


Pada tahun 1609 Belanda dengan tokoh-tokoh masyarakan Banda yang dikenal dengan sebutan Orang Kaya melakukan perjanjian atau Eternal Treaty sistem perdagangan monopoli. Belanda memaksa penduduk pribumi Kepulauan Banda untuk menjual hasil buminya hanya untuk mereka. 


Belanda juga memperkuat benteng Bandanairanya yaitu Benteng Nassau, yang merupakan salah satu pusat pertahanan VOC di Kepulauan Maluku. 


Pembantaian Yang Dilakukan Belanda Untuk Menguasai Kepulauan Banda

Saat itu wilayah kepulauan Banda tidak hanya diduduki oleh Belanda, namun juga Iggris yang sudah lebih dulu berdagang dengan masyarakat Banda di pulau Run dan Ai. Jaraknya hanya terpisah 10 km dari pulau Banda. 

Di mana pada tahun 1615 Belanda menyerang pulau Run dan Ai untuk melawan Inggris, namun mengalami kekalahan dengan terbunuhnya 200 tentara Belanda. Kemudian Pada tahun 1617 Belanda menyerang kembali dan berhasil menguasai pulau Run dan Ai sekaligus membunuh tentara Inggris.


Menjelang tahun 1621, tepatnya pada tanggal 27 Februari, dengan dipimpin oleh Jan Pieterzoon Coen yang saat itu adalah Gubernur Jenderal VOC, Belanda mengerahkan pasukan yang besar untuk menyerang warga serta menghancurkan pemukiman Kepulauan Banda. 


Pembantaian tidak hanya terjadi di Pulau Banda, namun juga di Pulau Lontor, Naira dan pulau Lainnya. Saat itu jumlah penduduk Banda mencapai 15 ribu jiwa, namun setelah peristiwa pembantaian itu tinggal tersisa kurang dari 1000 an orang. Tidak terkecuali 44 orang tokoh pemuka Orang Kaya juga diciduk dan dibunuh.


Penduduk Banda yang selamat dari pembantaian dipaksa untuk bekerja sebagai budak di perkebunan pala. Selain penduduk asli Banda, Belanda juga mendatangkan pekerja dari pulau lainnya termasuk pulau Jawa. Dengan dikuasainya pulau Banda, harga rempah pala di Eropa seketika naik sampai 300 kali lipat dari biaya produksi.


Perjanjian Belanda dengan Inggris dan Monopoli Pala Dunia

Namun proses penguasaan Kepulauan Banda oleh VOC Belanda itu masih menyisakan 1 pulau, yaitu pulau Run yang dikuasai oleh Inggris. Karena Belanda ingin mendapatkan seluruh bagian “Spice Islands” itu, akhirnya pada tahun 1667 dibuatlah perjanjian yang disebut dengan Treaty of Breda. 

Di dalam perjanjian itu Belanda menyerahkan pulau yang dianggap tidak penting saat itu yaitu pulau Manhattan atau New Amsterdam – saat ini bernama New York -. Sebagai gantinya Belanda mendapatkan pulau Run dari penguasaan Inggris.


Dengan dikuasainya seluruh Kepulauan Banda, maka Belanda mutlak menjadi pemain tunggal serta memonopoli pasar pala dunia. Setidaknya selama satu setengah abad Belanda menikmati hasil pala dan rempah lainnya dari kepulauan Banda dan sekitarnya hingga tahun 1810. 


Dari sini kita dapat melihat betapa berharganya salah satu jenis rempah-rempah asli Indonesia dari Kepulauan Banda. Sampai sekarang meskipun rempah Pala sudah banyak dibudidayakan di wilayah negara tropis lain, Pala dari Banda masih menjadi standar kualitas produk yang terbaik. 


Tidak terkecuali rempah-rempah lainnya seperti kayu manis (Cinnamon) dan lada putih dari Bangka yang dikenal dengan nama Muntok White Pepper.


Referensi :

Filippone, P. The spruce eats (2019). Nutmeg and mace history
Gale, T. Encyclopedia (2006). Spices and the spice trade
Hay, M. Atlas obscura (2019). The hidden history of the nutmeg island that was traded for manhattan
Myspicer (2014). The history of nutmeg
Radiya,N. I. Tirto id (2017). Pembantaian orang-orang Banda
Szczepanski, K. ThougtCo (2018). Nutmeg: the unsavory  history of a tasty spice

Gambar :

https://chasorganics.com/products/nutmeg-ground-30-g?variant=783004303
https://libweb5.princeton.edu/visual_materials/maps/websites/pacific/spice-islands/spice-islands-maps.html

by Google